Membedah Kisah Moksa Prabu Brawijaya V di Pantai Ngobaran

Sebuah prasasti di Pantai Ngobaran Saptosari untuk mengenang kisah moksa Brawijaya V. Swara/WG.

Terkadang konsep ”tuhan” hanya dilihat seba­gai salah satu terma leksikal: theos saja. Ia tak dipersejajarkan dengan konsep ‘paling mutakhir’ dari ‘bukan konsep tuhan’ yang lain. Dengan demikian, tentu saja, kemaslahatan Raden Patah dengan Allah Semitik-nya seakan-akan ‘antagonisme’ bagi Brawijaya. Bersama dengan itu, Brawijaya tak dianggap punya daya khalifah yang universal. Ia bukan khalifah, namun Brahmin. Dan barangkali Brawijaya waktu itu menjawab: “Jawa adalah Islam, namun ‘Islam’ terkadang bukan Jawa, Anakku!” Dan ia pun tampak tak berkenan dengan ekspresi-agresif Raden Patah dan Sunan Kalijaga yang penuh determinasi atas nama ‘Islam’. Mereka ‘memburu’ Brawijaya dari Ngawen, Nglipar, Gubug Gedhe, Ngobaran, hingga Bribin, dalam rangka agar ‘menjadi Islam’.

Bukankah ia sudah Islam, dengan baju Budo? Bukankah ia tak pernah memamerkan kepintaran ‘kitab’ dengan suara-suara yang hebat? Brawijaya tidak dengan ‘sholat’ untuk menuju ‘cahaya maha cayaha’, untuk menjadi ‘cahaya’. Ia cahaya. Ketika beberapa helai rambut gondrongnya ditebas dengan pisau, sebagai kode ‘pengislaman’, ia moksa. Ia lenyap; tubuh, pikir, jiwa, dan ruhnya. Kini ia mungkret, karena selama ruang waktu ini keyakinan telah membuatnya mulur. Ia bintang yang tak lagi punya massa. Ia supernova. Ia pekat. Ia memangsa tubuhnya sendiri. Ia irasional. Ia monisme. Dan tentu saja, lagi-lagi, segala aroma Monistik-Timur yang ‘irasional’ Platonik dianggap berbahaya seperti oleh Pythagoras, karena akan merusak alam semesta.

Bacaan Lainnya

Dari cerita-cerita yang laten di seluas gunung-gunung selatan, Brawijaya menawarkan sesuatu yang akan selalu hidup sebagai spirit paganisme: Jawa adalah heningnya laku, di goa-goa, bukan teriakan yang menggemuruh.

Jawa adalah sannyasi, pertapa: suatu struktur yang tak akan me­nguasai eksistensi, namun hidup abadi di superstruktur. Ia rela menjadi tiada dan kehilangan, ia menerima anaknya melukai, ia ikhlas karena ia menjadi Yang Maha Ikhlas. Ia kedewasaan a la bapak. Ia kedamaian suci dan tersembunyi. Ia seorang monis, ia non-theis, sekaligus monotheis, bukan a-theis. Ia melampaui theosofis. Melalui Brawijaya, Jawa tampak sebagai suatu identitas yang ‘seakan-akan’ bertentangan dengan Islam Arab; Semitik. Tapi tidak. Tilik saja percakapan Brawijaya dengan Sunan Kalijaga dalam Pangkurnya Ranggawarsita:

Dene tebih saking nalar, den-saeni walese angalani, cidra lan sebutan buku, pikukuhe Syang Jawa, Jawa-Jawi mangerti agal lan alus, wajibe yen binecikan, sayekti yen males becik.

Amung lagya bangsa Islam, den-beciki malese angalani, tetep lawan sebutipun, anyebut Asma Allah, mila ala tiyang Islam batosipun, aluse mung kalairan, batosipun jujur masin. 

Seperti dicatat oleh Tome Pirez, Islam datang cenderung sebagai ‘ancaman’ bagi orang-orang pribumi. Meskipun ‘sesungguhnya’ tidak. Barangkali karena ia―Brawijaya, wali ideologi Jawa―tahu, Islam di Semenanjung Arab pun tak kuasa untuk menghindar dari pertumpahan darah, perebutan kekuasaan, hegemoni politik, seperti halnya di tanah Jawa; di Majapahit. Bukankah sepeninggal Muhammad tanah Arab banjir darah oleh ulah para ‘khalifah’, memperebutkan jengkal tanah dan kuasa? Lantas, begitu signifikankah pergantian baju, jika hanya akan membawa umat manusia ke dalam kehancuran?

Tampaklah bahwa yang datang belakangan dianggap mewakili ‘kebenaran’. Yang mula, seperti halnya pakaian, dianggap usang, jelek, dan layak dinasikhkan. Mereka adalah kaum pagan, atau Buda (baca: wuda). Buda adalah gnostikisme, setua bumi, seperti halnya aksara Jawa yang ‘nglegena’, atau ‘wuda’. Tanpa baju. Inilah a-gama sang utusan. Dewa Langit dan Dewi Bumi. Kemudian sang utusan saresmisampyuh, melahirkan wiji. Semua masih tampak melalui devian lingga-yoni: menara masjid, tugu, struktur berundak candi, padma, salib, dst. Inilah (r)evolusi cheos menjadi cosmos. Ini kelahiran dalam kematian. Ini perenialisme. Brawijaya adalah penerus ide para utusan itu; suatu ideologi-mula yang dianggap lapuk, tak benar, apalagi membawa rahmah. Namun ia pragmatis: ia mengabarkan bahwa Jawa tak sok suci, dengan ‘menghilangkan’ tubuh-ruhnya; dengan moksa.

Dari sanalah, Gua Bribin itu, lahir perseteruan Islam yang benar versus Jawa yang salah.  Di sana lah ‘akhir’ dari rentang renaissance paganisme Jawa yang hingar bingar selama Majapahit berdiri. Meskipun semangat itu tak sungguh benar-benar lenyap dari kedalaman neurotic orang Jawa; karena mereka akan tetap membuat perpengingatan kepercayaan asli ‘pribumi’ dengan simbol-simbol geometri, dengan anasir megalitik, dengan slametan, dengan pundhen berundak, dengan lingga-yoni, yang bermetaforma dalam metafor-metafor di atas itu dan seterusnya. Sampai akhir abad ini.

Karena Brawijaya tahu bahwa nilai dari ketakberhinggaan berletak di kedalaman, bukan di luaran. Karena Brawijaya sadar bahwa ‘kelebihlamaan’ bersemayam di pelosok ruh, bukan di sudut-sudut baju. Maka, ia memberikan restu pada putranya, tanpa ia sendiri berkenan mendampinginya. Ia akan menjelma ruh yang menjaga surga Jawa, dari sisi yang lain, tanpa melawannya, apalagi merusaknya. Seperti para pembantu setianya di waktu yang lebih mula: Sabda Palon dan Naya Genggong. (Material mereka―yang dengan ciri fisika lebih sebagai orang Sumeria itu―dicoba diabadikan di Candi Cetha; menjadi Dhang Hyang Bhumi Jawa, yang akan selalu menjaga dan mengingatkan).

Facebook Comments Box

Pos terkait