Membedah Kisah Moksa Prabu Brawijaya V di Pantai Ngobaran

Sebuah prasasti di Pantai Ngobaran Saptosari untuk mengenang kisah moksa Brawijaya V. Swara/WG.

Cerita tentang millenarisme Brawijaya di sejauh gugusan gunung selatan seperti di Pegunungan Ngawen, Gubug Gedhe, Banyuniba, Ngobaran, dan Bribin ini, membuktikan bahwa di ketaksadaran orang Jawa terdapat konsep yuga tentang pranata kosmos yang lebih baik [cosmos], karena kondisi Majapahit waktu itu yang karut-marut [chaos]. Ini, lagi-lagi, diharapkan, seperti menggunakan konsep: persetubuhan ‘anak’ dengan ‘ibu’ hingga chaos berubah menjadi cosmos. Barangkali Raden Patah menggunakan kendaraan millenarisme dalam rangka ‘berkuasa’ di bumi pertiwi, dengan senjata Islam. Kemudian, gerakan ini mendapat tanggapan positif dari masyarakat mayor, mendapat dukungan wali [yang semuanya orang tionghoa?]; orang-orang yang katanya mengantongi ilmu Kitab di saku mereka.

Namun tidak bagi Sang Raja. Baginya, kepercayaan asli ‘ibu bumi’, atau islam nusantara itu, yang kuncara sampai ke benua manapun sebelum kejayaan Siwa-Buda itu, yang mengisi peradaban di belahan bumi manapun sebelum Abad, memiliki ruh yang lebih melingkupi. Mendamaikan. Orang Jawa selalu menjalin hubungan dengan kekuatan yang berada di luar dirinya; orang Jawa selalu bercinta dengan ‘kekuatan akhir’: dengan memuja kesuburan. Ibu bumi. Ibu pertiwi. Dewi Sri. Siapa yang bisa saresmi dengan ibu bumi, maka ia menjadi sempurna. Raden Patah ingin seperti itu. Namun ini perkawinan sumbang. Dan Brawijaya sangat tahu. Hal ini merusak tatanan kosmos; karena kosmos tak menginginkan Complex Oedipus, atau Complex Electra; yang akan melanggengkan manusia dalam dosa. Brawijaya tak kuasa. Ia memilih moksa. Ia raja keturunan nenek moyang yang menjadi ‘dewa’. Dan cerita-cerita itu, lagi-lagi, seperti kata Koentjaraningrat, simbol-lambang yang mengikat solidaritas individu-kelompok penganut kepercayaan di suatu wilayah; di sejauh wilayah pegunungan selatan di Gunungkidul itu.

Bacaan Lainnya

Brawijaya moksa di Gua Bribin. Inilah bukti langgengnya kepercayaan asli: suatu dimensi spiritual yang berlangsung di dalam lingkungan-lingkungan sunyi terpencil, sebagai semacam ‘padepokan’. Ini seperti tokoh Bhima sebagai simbol utama ‘ruwat’ dan ‘kelepasan’ di alam pewayangan. Ia Pahlawan Keagamaan. Inilah ‘tragedi’ bersatunya Kawula-Gusti, atau Suksma Diri dengan Sang Maha Suksma, atau atmandengan paramatman. Ia suwung. Atau jika menggunakan cara bacanya PM. Laksono: ini ibarat tokoh kembar Nakula-Sadewa. Manusia bergerak menjadi ‘tahu’ tentang kediriannya; Nakula, kemudian ia mampu menyelesaikan masalah ‘dunia’, setelah itu baru dapat bersatu dengan Dewa; Sadewa, atau memang karena di dalam dirinya adalah Dewa.

Kata Ossenbruggen, unsur kepercayaan pribumi yang direprentasikan ke dalam konsep ‘ka-lepas-an’, seperti dalam moksa Brawijaya itu, mengindikasikan unsur kesuburan yang telah ada dan dianut sejak masa prasejarah, diaktualisasi melalui simbol-simbol alam yang dipersonifikasi ke dalam wujud-wujud tertentu, khususnya yang akrab dikenal di dalam lingkungan satu kebudayaan. Kondisi keagamaan seperti yang dipilih Brawijaya sebenarnya sudah menggejala menjelang abad ke XIV Masehi, bukan melulu sesuatu yang ‘baru hadir’, tetapi ‘yang dihadirkan kembali’, atau telah berlangsung sejak awal kehidupan prasejarah hingga meruaknya inovasi Asing (Siwa, Budha, dan Islam).

Kegiatan ini dilakukan dengan kegiatan keagamaan di tempat-tempat sunyi dan tersembunyi, jauh dari keramaian, memilih letak di puncak-puncak gunung dan dataran tinggi yang sulit dicapai. Tempat-tempat seperti gua Bribin Semanu Gunungkidul sebagai salah satu tempat yang ‘diyakini’ tempat Brawijaya moksa disebut padepokan keagamaan, atau Mandala Kadewagurwan. Maka, padepokan-padepokan stereotip Brawijaya itu juga ditemukan di berbagai tempat di beberapa wilayah di sejauh pegunungan selatan. Karena begitulah masyarakat pegunungan selatan menghidupi sesuatu; menghidupkan sesuatu yang begitu jauh berloncatan di orbital pikiran purba mereka: agama asli manusia-manusia awal; manunggaling/jumbuhing kawula gustisangkan paraning dumadi.

Ia lah B(atha)rawijaya; raja yang memandang hidup ini layaknya perang (palagan, juritan) antara ‘kebaikan’ dan ‘kejahatan’. Ia berusaha mengalahkan unsur-unsur lahiriyahnya sendiri seperti emosi, dorongan nafsu, dan pemikiran duniawi. Termasuk pada ‘anaknya’ juga ‘kerajaannya’. Barangkali, ia hendak memurnikan aspek batinnya, bersatu kembali ke hakikat tertinggi yang melahirkannya, dalam rangka mengusahakan keteraturan, yaitu keselarasan dengan ‘segala ada’ (jagad gedhe). Ia bukanlah manusia yang dengan cara baca Mangkunegara IV termasuk orang yang kegubel sarengat. Ia tidak diabadikan sebagai mummy; di dalam piramida nusantara, di gedung tinggi, di acropolis, atau di lembabnya candi. Ia termasuk yang berhasil menjadi dewa; anasir yang menciptakannya.Ia diciptakan dengan emanasi. Dengan demikian, ia lah kesatuan antara ‘pencipta’ dan ‘ciptaan’, hamba dan tuan. Tak ada batas antara keduanya. Ia imanen sekaligus transenden. Ia lah sangkan dan parannya sendiri. Ia memperoleh kemenangan. Waktu pun kembali senyap, namun apa yang membedakan ‘pencipta’ dan ‘ciptaan’? Tubuh yang lenyap, keterbatasan, detak jantung yang lesap, atau ‘waktu’ yang mendadak henti? Atau suatu semesta adalah diagram venn himpunan bagian—dimana yang dicipta bagian kecil dari yang mencipta?

Kini, sisa kesenyapan itu terasa di sebalik alur air dalam pipa besi pengangkut air sungai bawah tanah Gua Bribin yang menua; pipa-pipa besar-panjang kelahiran BATAN bekerja sama dengan Universitas Karlsruhe dan Bundesministerum fur Bildung und Forschung (BMBF) Jerman yang ‘gagal’. Sebuah gua tepat di bawah gunung karst sumber ‘emas putih’; perut bumi pewijil air perwita yang memperpanjang usia orang-orang Gunungkidul; sejauh pipa-pipa itu mencengkeram tanah, menusuk gunung-gunung karst nan indah. Pelan-pelan gemuruh air kurang lebih 80 L/DT dalam pipa besi menelusupkan warta pada dinding goa basah dan senyap tempat para kelelawar berumah:

Suatu waktu di sekitar akhir abad XVI, seorang ‘raja Jawa’ manekung di goa itu. Menyendiri. Meninggalkan riuh kekuasaan yang ‘ambruk’. Melenguhkan penderitaan Jawa. Merelakan kebesaran agamanya ‘dipergantikan’. Di tempat sunyi itu ia memilih moksa; sesuatu ‘ada’ yang sebenarnya takterdefinisikan dengan bahasa: tan kena kinaya ngapa. Bukan sebatas definisi ‘telah menjadi Islam’ atau tidak. Bukan. Dan narasi kesenyapan itu tertangkap lewat gericik tetes air yang meluluhkan dinding batu, derkuku yang sekali dua mengalun di kejauhan, dedaun bambu yang ‘diam-diam’ bercumbu karena desak angin, para jati yang tak terlalu rapat perlahan-lahan menyembul dari tubuh bebatu, juga lewat prasasti ingusan di sebuah lempeng batu di mulut goa:

Dan, B(atha)rawijaya pun sunya. Ia menang tanpa ngasorake.

__

[WG]

Bibliografi

  • Goldberg, Bruce, Reinkarnasi : The Search of Grace, (terj. Fernandus Untoro Ardi), Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer Gramedia, 2003.
  • Foucoult, Michel, Kegilaan dan Peradaban, (Terj. Yudi Santoso), Yogyakarta: Ikon Tera Litera, 2002.
  • Jung, C.G., Memories, Dreams, Reflections, (Terj. Apri Danarto dan Ekandari Sulistyaningsih), Yogyakarta: Jendela,  2003.
  • Sumardjo, Jakob, Jeihan, Ambang Waras dan Gila, Bandung: Jeihan Institute, 2007.
  • Zoetmulder, P.J., Manunggaling Kawula Gusti, (Terj. Dick Hartoko), Jakarta: Gramedia, 1990.
  • Seife, Charles, Zero, The Biography of a Dangerous Idea (Terj. Jimmi Firdaus), Yogyakarta : e-NUSANTARA, , 2008.
  • Sudiarja, A., S.J., Dari Onto-Teologi ke Mistik; Sebuah Pendekatan Filsafat Agama untuk Menghadapi Pluralisme Agama dalam Manusia, Teka-teki yang Mencari Solusi (Ed. A. Setyo Wibowo), Yogyakarta: Kanisius, 2009.
  • Joint Project: Water Resources Management of  Underground Rivers in Karst Area in Gunungkidul Distric; Yogyakarta Special Region.
Facebook Comments Box

Pos terkait