Sepeda yang Menggerakkan Perekonomian Mikro

Salah satu kelompok pesepeda di Gunungkidul. Foto: Woro.

Beberapa bulan terakhir aktivitas bersepeda (gowes) mendapat sorotan kurang baik dari masyarakat utamanya para pengguna jalan. Hal ini dipicu cara bersepeda yang ugal-ugalan dan serakah memakai jalan yang mengakibatkan rasa tak nyaman bahkan membahayakan pengguna jalan.

Bersepeda juga disindir sebagai kegiatan ikut-ikutan dan gaya-gayaan saja. Musiman saja, bukan murni berolahraga, yang ketika rasa jenuh atau musim hujan tiba akan berakhirlah musim gowes. Saya pernah membaca sebuah sindiran menggelikan “Aku jane pingin ngepit tapi wedi nek sedelo maneh usum jaran”. Hahaha.

Bacaan Lainnya

Sikap kurang simpatik masyarakat pada aktivitas bersepeda sesungguhnya wajar belaka terlebih kepada yang bersepada secara tak beradab. Tak perlu cari pembenaran. Tak perlu cari-cari alasan. Bersepeda ugal-ugalan dan serakah memakan ruang jalan adalah salah, tak bisa dibasuh-basuh lagi.

Hanya kemudian nyaris tak ada tulisan, berita atau argumentasi penyeimbang yang melihat bersepeda dari sudut pandang lain. Ketidakseimbangan ini kurang baik karena bisa memunculkan stigma bersepeda itu tak bagus dan mesti dijauhi. Padahal pada dasarnya semua orang tahu bersepeda itu banyak sisi baiknya dan layak untuk dijadikan budaya.

Dalam takaran yang tepat bersepeda itu menyehatkan tak hanya raga namun juga pikiran dan psikologi lewat rasa nyaman dan bahagia saat mengayuh pedal melewati pasar, persawahan, perkampung atau saat bercengkerama bersama kawan-kawan maupun keluarga.

Dari perspektif ekonomi bersepeda jelas sangat membantu menggerakkan perekonomian arus bawah, perekonomian pedagang-pedagang kecil. Sepanjang saya amati, setiap hari Sabtu dan Minggu berjibun pesepeda berhenti di warung-warung kecil, angkringan. Mereka membeli pule tempe, pecel,dawet, gorengan, cemplon, nasi kucing dan aneka makanan ‘ndeso’ yang dijual pedagang kecil. Jarang mereka berhenti untuk jajan di resto modern. Entah berapa ratus pedagang kecil yang mendapat rejeki lewat keringat dan rasa lelah para pesepeda. Berapa puluh juta uang yang berputar.

Para pesepeda itu telah mempraktekkan ajaran ‘nglarisi’ pedagang kecil dan menggerakkan roda-roda ekonomi mereka tanpa banyak retorika dan teori-teori. Sederhana sekali. Mereka Ngepit, lelah lalu jajan dan pedagang senang.

Saya berharap pedal akan terus dikayuh, bersepeda akan terus ada bahkan menjadi budaya warga. Lagipula, jika diitung-itung pesepeda yang ugal-ugal dan serakah tadi jumlahnya tak seberapa dibanding ribuan ‘goweser’ yang tertib dan beradab.

Facebook Comments Box

Pos terkait